Pengelola
Pada umumnya manajemen rumah makan Padang dikelola oleh keluarga atau kaum kerabat sekampung.
[rujukan?] Pengelola rumah makan Padang banyak menganut falsafah Minang yang demokratis, seperti
berat sama dipikul, ringan sama dijinjing, hal ini terlihat dari pembagian keuntungan yang dibagikan setiap seratus hari kerja, dengan sistem bagi hasil berdasarkan indeks prestasi. Cara seperti ini, akan mendorong karyawan untuk berprestasi, mereka akan berusaha melayani tamu sebaik-baiknya agar tamu mau datang kembali. Sistem bagi hasil seperti ini menjadikan karyawan merasa ikut memiliki perusahaan.
[rujukan?] Untuk memahami pengelolaan rumah makan, setiap karyawan harus melewati proses pengkaderan lengkap khas rumah makan. Biasanya karier mereka dimulai dari pencuci piring, kemudian meningkat sebagai penyiap makanan, pelayan tamu, kasir, hingga menjadi manajer.
[rujukan?]
Pelayan rumah makan Padang umumnya
pria. Jarang sekali profesi pelayan rumah makan Padang dipegang oleh
wanita.
[rujukan?] Hal ini disebabkan tingginya kedudukan wanita dalam
adat Minangkabau. Pelayan rumah makan Padang mempunyai keunikan dalam menyajikan hidangan.Mereka akan membawa sejumlah
piring hidangan secara sekaligus dengan bertingkat-tingkat/bertumpuk-tumpuk dengan kedua belah atau sebelah tangan saja. Hal ini merupakan atraksi yang cukup menarik bagi para pengunjungnya.
Jaringan
Jaringan rumah makan Padang berkembang keseluruh
NUSANTARA. Data lain dari Ikatan Warung Padang Indonesia (Iwapin) mencatat, di wilayah Jakarta dan sekitarnya ada sekitar 20.000 rumah makan Padang
Rumah makan Padang menawarkan jenis masakan seperti
rendang,
gulai gajebo,
soto Padang,
dendeng balado, dan
gulai kepala ikan kakap disertai
sambal balado. Banyak rumah makan Padang yang masih mengimpor bahan dari ranah Minang. Pengelola rumah makan Padang juga mempertahankan keaslian rasa masakan Minang dengan menggunakan koki dari Sumatera Barat. Atau setidaknya mereka meminta bantuan orang dari Sumatera Barat untuk mengontrol kualitas masakan.
Beberapa pengelola rumah makan perlu mempertimbangkan tabiat lidah konsumen di luar komunitas Minang, misalnya mengurangi tingkat kepedasan.